Thursday, February 9, 2006

Resensi: The State of Architecture at the Beginning of the 21st Century

Title: The State of Architecture at the Beginning of the 21st Century
Type: Journal, edited by Bernard Tschumi dan Irene Cheng
Author: Various Architects
Publisher: Monacelli Press

Buku ini mengupas tentang opini dari para master-arsitek tentang kemungkinan atau state of the "arch" di abad ke-21. Pada dasarnya hampir semua berpendapat tentang aspek-aspek geopolitik, sosial budaya dan juga ekonomi yang pasti akan mempengaruhi wujud aristektur. Di sini, para pakar tersebut memandang arsitektur sebagai sebuah entitas budaya yang senantiasa berkembang. Pembahasan-pembahasannya disusun dalam skala pandangan subjek tertentu misalnya isu politik, forms, digitalisasi dan sebagainya. Dari kacamata praktisi profesional, tentu kita bisa mengantisipasi atau membuka ruang lintas diskusi dengan arsitek-arsitek tersebut. Secara garis besar, dalam buku ini dinyatakan bahwa arsitektur tidak hanya terbentuk dari sisi konstruktifnya belaka, tetapi memiliki sisi-sisi yang lain, yang menjadikannya distinctive dibanding seni yang lain, atau ilmu konstruksi. Pandangan Bernard Tschumi sendiri mengenai "envelopes" misalnya, menegaskan tentang unsur-unsur arsitektur yang dibentuk dari vektor (manifestasi program) dan selubung atau envelope (diantaranya- sebagai manifestasi konteks). Atau simaklah opini yang menunjukkan evolusi apresiasi arsitektur dari segi "pakem proporsional" era klasik, uji tektonika sampai ke batasan arsitektur fashionik yang serba persepsif saat ini dalam analogi proporsi manusia da Vinci, seorang binaragawan dan Elvis Costello (esai dari Sylvia Lavin). Munculnya butik-butik seperti Prada-nya Herzog/Meuron yang tidak terikat dengan skala dimensional juga menjadi preseden khusus tentang gejala penyikapan arsitektur di masa ini. Disamping pe-redefinisi-an beberapa isu arsitektur mulai dari ruang virtual, dampak globalisasi, tata kota di era perang dan sebagainya.

Beberapa master-arsitek yang terlibat antara lain menghadirkan nama-nama besar di dunia teori dan pragmatisasi arsitektur. Bernard Tschumi sendiri, kemudian Peter Eisenman, Rem Koolhaas, Greg Lynn, Alejandro Zaera Polo, Hani Rashid, Zaha Hadid, Frank Gehry, Kenneth Frampton, dan para avant-garde architects lain. Dengan bahasa yang lugas dan singkat, buku ini mungkin bisa jadi pedoman bagi para pecinta arsitektur untuk menyelami dinamika kompleks dari lepas landasnya disiplin ilmu tersebut menyongsong era baru. Jika pada era modern dulu meninggalkan literatur-literatur klasik, di antaranya dari Le Corbusier, mungkin buku ini bisa menjadi landmark transisi era arsitektur.

Heavily recommended!

Tuesday, December 27, 2005

Literatur Arsitektur Indonesia

Seperti apakah buku yang dikategorikan sebagai buku arsitektur? Baru-baru ini saya membeli buku rilisan IAI berjudul “Long Road Towards Recognition”, dengan harga yang (ehm) lumayan juga. Terus terang saya sedikit kecewa ketika tahu bahwa ternyata buku tersebut adalah yet another “coffee-table” books, seperti standar buku-buku arsitektur yang rilis sebelumnya. Ambil contoh dari awalmula buku “coffee-table” masuk dalam rilisan penerbit luar yang menampilkan eklektisisme arsitektur daerah di Indonesia (yang menstandarkan imej arsitektur Indonesia sebagai arsitektur “etnik”). Kemudian muncul rilisan IAI dalam bentuk “Karya-Karya Arsitek Indonesia” (pardon me, kalo ternyata judulnya sedikit kurang tepat), yet another coffee-table-book. Juga “Indonesian Architecture Now”, dari Imelda Akmal, menyusul buku kuning-nya AMI (Karya-Karya Arsitek Muda Indonesia: The Next Gen), dan puluhan buku lain yang rilis kemudian.

Saya ingat suatu kali wonder and amazed sama sebuah buku ramping (dari sisi dimensi buku) berjudul “AMI: Perjalanan 1999” yang dipinjam dari seorang teman kuliah. At last -dalam hati saya- ada juga yang berpikir untuk membagi pengalaman arsitekturalnya tanpa terjebak profanitas media visualisasi. Foto, denah, dan berbagai tampilan “matang” visual dari objek arsitektur memang penting (sekaligus menarik); tetapi sebagai bahan referensi yang muncul dalam bentuk buku (media literer), niscaya penjelasan proses “berarsitektur” ke arah sana jauh lebih penting. Buku "AMI: Perjalanan 1999" sedikit banyak menjelaskan tentang realita dan proses berpikir ke-arsitektur-an yang relatif berbeda dari kita membuka halaman coffee-table-books. Para pelaku ziarah arsitektur tersebut menuturkan pengalaman meruang mereka dalam objek-objek arsitektur dunia; memberikan suatu cara pandang baru bagi saya untuk lebih menelaah arsitektur tidak hanya sekedar bungkus imej luaran dari foto-foto yang kilau. Arsitektur lebih kepada studi tentang ruang dalam yang simple sekaligus kompleks (karena harus dirasakan), begitulah yang saya rasakan dalam membaca buku "AMI: Perjalanan 1999" di tahun-tahun awal kuliah.

Medio masa studi kuliah saya, ada referensi kuat untuk “mencoba” membuka sebuah buku sakit (menurut Rafael Arsono, sahabat yang pertama kali meminjamkan buku "AMI:Perjalanan 1999"). Sedikit flashback, awal kuliah saya juga mendapat referensi dari lembaran slide kuliah tentang arsitek bernama Rem Koolhaas. Waktu itu Koolhaas jarang dilirik, karena seolah semua mahasiswa tengah terbius dengan kemegahan bangunan Frank Gehry atau kompleksitas Peter Eisenman. Beberapa tahun kemudian, saya berkesempatan untuk membeli buku seharga satu juta rupiah (!), karangan Koolhaas yang rasanya cukup untuk menindih lalat sampai gepeng karena kemasifan-nya. Judul buku tersebut adalah “S,M,L,XL” yang dikerjakannya bersama seniman grafis: Bruce Mau. Buku tersebut merupakan skala introspektif dari seorang arsitek Belanda yang bisa dibilang “gila” dalam menuturkan buah pikirnya. Pada dasarnya, "S,M,L,XL" merupakan kumpulan karya Koolhaas yang diklasifikasi berdasarkan besaran atau volume-nya. Tetapi agar tidak menjadi objek “pemerkosaan visual” ala coffee-table-books, Koolhaas mengagendakan Bruce Mau untuk sedikit merusak visual dari grafik buku tersebut. Disamping itu, juga terdapat banyak sekali manifesto pikir dari seorang Rem Koolhaas yang tertuang mejadi seperti diary perancangan. Buku tersebut sedemikian “sakit” sehingga mampu menularkan virus hebat bagi saya berupa pandangan bahwa arsitektur, saat ini, adalah komoditas dari produk budaya instan bernama fashion (hence, klasifikasinya berdasarkan ukuran seperti halnya produk massal garmen).



Dari "S,M,L,XL" tersebut saya mulai berpikir tentang buku arsitektur yang baik. Proses pembentukan pola pikir untuk menjadikan sebuah objek arsitektur adalah suatu hal yang harus diagendakan untuk dibagi kepada publik, dibandingkan menyajikan dalam bentuk jadi (seperti halnya “album foto”), atau terlalu mentah (teoritis). Buku arsitektur sebagai media referensi tentang objek aristektur, atau arsiteknya sendiri harus bisa menjelaskan runutan cara berpikir dari arsitek yang bersangkutan untuk menghasilkan karya-karyanya. Buku "AMI: Perjalanan 1999" menginformasikan praduga-praduga yang berpangkal dari apresiasi rombongan arsitek Indonesia di dalam karya-karya arsitek dunia. Hal itu juga positif membangun kesadaran berpikir proses, (misalnya) bahwa keunikan alley yang terdapat di Kunsthal pasti melalui serangkaian proses penggabungan sirkulasi urban dengan sirkulasi galeri (setidaknya menurut pendapat apresiator-nya). Bahwa kemegahan bangunan Gehry di Bilbao baru sangat terasa setelah mereka merasakan sendiri keterkaitan kehadiran massa skulpturalis itu dalam konteks ruang kota Bilbao. Juga bahwa kenapa kota Lille menjadi sebuah laboratorium unik dari definisi kota “Uni-Eropa” bisa kita rekam dari penuturan Koolhaas via buku "S,M,L,XL". Hal-hal demikian akan kembali me-reshape sekaligus sebagai media diskusi yang menarik bagi pembacanya, daripada sekedar mengagumi hasil karya arsitektur melalui foto-foto “matang”-nya. Pengaruh positifnya, tentunya sebagai apresiator, kita akan turut tertantang untuk mencoba menggabungkan pengalaman proses desain ke dalam rancangan. Sementara, buku-buku teoritis akan dicap sebagai buku langitan karena untouchable (seperti halnya “Complexity and Contradiction”-nya Venturi yang menurut saya sampe saat ini masih berupa wacana). Quit pro quo, buku coffee-table juga akan dicap sebagai buku yang menyemikan plagiat (atau inspirasi). Mungkin dari sini kita bisa menarik suatu kesimpulan kenapa muncul “gaya arsitektur” yang lantas menjadi alibi bagi duplikasi arsitektur.

Dari eksposisi pribadi tersebut, lantas saya ngambil kesimpulan jika di Indonesia masih sangat kekurangan buku arsitektur yang saya kategorikan sebagai buku “baik”. Buku-buku kompilasi karya yang muncul belakangan ini tengah mendominasi khasanah literatur arsitektur di Indonesia. Dari karya-karya Imelda Akmal, dengan segala hormat terhadap usaha kompilasinya, sampai ke rilisan IAI. Kita membutuhkan buku-buku sharing pengalaman (terutama ruang) dan “bercerita” seperti halnya "AMI: Perjalanan 1999" sebagai media pendidikan dan sumber referensi yang lebih membangun terhadap alih-generasi arsitektur Indonesia, secara khusus dan publik pada umumnya. Mungkin dengan munculnya buku yang lebih “bercerita” tersebut dunia arsitektur akan turut menyumbangkan visinya merubah budaya instan bangsa Indonesia menjadi budaya proses.

End Note

Akhir 2004 lalu, Yori Antar merilis bukunya berjudul “East Meet West”. Buku yang bercerita tentang salah satu karya desain Yori, meski dalam format coffee-table (dominasi unsur visual yang profan), tetapi dengan fokus terhadap satu buah objek dan ditulis notabene oleh desainernya sendiri, membuat buku ini menjadi sumber referensi berharga tentang proses arsitektural. Berbeda dengan buku kompilasi yang terlihat “kurang menggigit” dalam hal apresiasinya meski dilengkapi dengan narasumber primer dari arsitek-nya, tetapi yang muncul rata-rata masih merupakan “komentar” instan terhadap visual (tak jauh beda dengan edisi khusus annual majalah ASRI, bertajuk "Skala+").



Kemudian di akhir 2005, Adi Purnomo mengeluarkan buku berjudul “Relativitas – Arsitek di Ruang Angan dan Kenyataan”. Buku setebal 250-an halaman yang berformat BW tersebut menjadi “curhat”-an dari arsitek asal Jogjakarta tersebut. Di sini saya merekomendasikan buku tersebut kepada segenap pemerhati arsitektur sekalian. Terutama generasi muda arsitektur Indonesia (mahasiswa, terutama) untuk ikut menyelami proses berpikir Adi Purnomo dalam menghasilkan desain, yang membenturkan antara idealisme dan realisme. Satu lagi pemikiran tentang proses. Juga kepada arsitek “mapan” di Indonesia, I urge you to release such a book!

Bolehlah kita beroptimis mengenai dunia literatur arsitektur di Indonesia di masa depan untuk menjadi lebih baik berdasarkan dua preseden tokoh arsitektur Indonesia tersebut dan karya literatur-nya. Serta (berharap) membantu mengubah perspektif budaya bangsa kita dari budaya instan menjadi budaya proses. Never be too late to change.

Monday, December 5, 2005

20th Century Boys

Alkisah...haha...selama beberapa tahun gw adalah seorang comic-freak (thick glasses bullied by assholes?). Pada era DragonBall (still, one of the best fantasy-based comic ever released) dulu diterbitkan oleh Elex Media, dengan tekun gw ngikutin dan menantikan penuh kesabaran seri demi seri sampe berakhir di nomer 42 (dari SD sampe SMU, rentang waktu yang luar biasa). Setelah lebih intens di musik, gw mulai beralih untuk ngga mengkoleksi komik (selain DB, gw juga ngumpulin mulai dari bangsa Kungfu Boy, Sailormoon, Kobo-Chan, Kariage Kun, dan komik-komik Elex Media laen). Awal kuliah gw berniat kembali ngoleksi komik. Kali ini ada distributor lokal yang menerjemahkan beberapa seri X-Men dan Spiderman. Gw suka banget X-Men dan mule ngumpulin lagi (terutama saga Onslaught). Sayang, bukan salah gw tetapi entah kenapa peredaran komik tersebut punah. Ketika PMK nerbitin beberapa serial terjemahan komik US, gw udah kehilangan minat ngikutin.

Tapi ada satu ilustrator komik yang gw suka banget, namanya Naoki Urusawa. Bertahun-tahun lalu, sebuah komik berjudul Master Keaton telah membuka paradigma keilmuan gw untuk ngga berkutat sama scientific, serta untuk lebih tertarik kepada sejarah dan kebudayaan (bagi yang bilang komik ngga mendidik: baca komik ini!). Master Keaton yang bercerita tentang petualangan detektif-arkeolog-mantan tentara bernama Hiraga Keaton Taichii ini banyak membuka pengetahuan tentang tempat-tempat di muka bumi. Termasuk hipotesa positifnya tentang awalmula peradaban Eropa yang berasal dari sungai Danube (well...dulu gw obsessed tentang ini, sekarang udah mulai bisa ngedebat hal itu). Karya kedua Urusawa adalah Monster. Komik thriller-psikologis yang juga berdetail rapi. Tentang seorang dokter keturunan Jepang di Jerman memburu psikopat yang bisa membuat chaos luar biasa hanya dari caranya mepengaruhi orang lain (inget film "Saw", yang ini versi -advanced-nya dengan banyak sekali logika psikologis-nya banding film Amerika tersebut). Latar-nya banyak bercerita tentang dunia Jerman dan Eropa timur masa perang dingin adalah cara yang bagus untuk menekankan kecintaan pada sejarah. Dua karya Urusawa itu mampu memberikan suatu imaji yang lebih berkembang atas komik, tidak hanya terpaku atas cerita (ala manga "cewe") atau sensasi-nya (Ala komik US). Tetapi juga membuat latar dunia nyata bisa masuk ke dalam cerita komik.


Karya ketiga Urusawa, yang termasuk baru dipublikasikan di Indonesia adalah 20th Century Boys. Saat ini baru nyampe edisi perdana-nya, dan ini yang bikin gw kembali mengumpulkan semangat untuk mengoleksi komik.

20th Century Boys bercerita tentang "time-capsule" yang dikumpulkan oleh sekumpulan anak kecil di akhir dekade 60-an (masih menggunakan latar yang nyata, seperti peristiwa Woodstock 69, Jumpin' Jack Flash-nya Rolling Stones dan peristiwa pendaratan manusia di bulan). Di time-capsule tersebut, dikumpulkan berbagai memorabilia mereka termasuk impian-impian tentang masa depan yang selaras dengan imajinasi anak kecil. Mulai dari munculnya makhluk-makhluk angkasa luar, serangan virus sampai invasi robot ke Jepang. Di akhir 90-an, apa yang mereka tulis itu mulai menjadi kenyataan seiring dengan munculnya sekte rahasia dibawah kendali "Friends" (Sahabat). Munculnya sekte rahasia itu juga didukung dengan sosialisasi logo yang dibuat oleh anak-anak tersebut 30 tahun silam. Kini, anak-anak yang beranjak dewasa itu mulai mencari ada apa dengan sekte tersebut dan apakah salah satu dari mereka ada di balik munculnya sekte yang ingin membuat dunia baru tersebut?


Dengan alur yang bumpy, Urusawa mampu membawa ke serangkaian kejadian misteri yang menarik untuk terus diikuti seperti halnya Monster. Loop dari tahun 1969, 1979, 1997, tahun 2000 dan bahkan 2014 dirotasi secara brilian sehingga pembaca mampu mengenal karakter yang banyak tanpa kehilangan poros cerita. Bagi yang suka dengan komik berkualitas, coba aja 20th Century Boys, karya Urusawa yang diterbitkan oleh Level Comic (sub-Gramedia)!

PS: Setelah ri-cek, ternyata udah sampe ke nomer 3 dan kantor penerbitnya jadi satu sama kantor gw...hehehe. And fun fact is 20th Century Boy taken from T-Rex's song title. FYI, T-Rex is a classic rock band who pave the way for its frontman, Marc Bolan.

Labels

Blog Archive